Biografi Najwa Shihab
Najwa adalah alumni Fakultas Hukum UI tahun 2000. Semasa SMA ia terpilih mengikuti program AFS, yang di Indonesia program ini dilaksanakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya, selama satu tahun di Amerika Serikat. Merintis karier di RCTI, tahun 2001 ia memilih bergabung dengan Metro TV karena stasiun TV itu dinilai lebih menjawab minat besarnya terhadap dunia jurnalistik.
Penghargaan yang diraih Najwa Shihab
Pada tahun 2005, ia memperoleh penghargaan dari PWI Pusat dan PWI Jaya untuk lapora-laporannya dari Aceh, saat bencana tsunami melanda kawasan itu, Desember 2004. Liputan dan laporannya dinilai memberi andil bagi meluasnya kepedulian dan empati masyarakat luas terhadap tragedi kemanusiaan tersebut.
Najwa tiba di Aceh pada hari-hari pertama bencana, menjadi saksi mata kedahsyatan musibah itu, berada di tengah tumpukan mayat yang belum terurus, dan menjadi saksi pula betapa pemerintah tidak siap menghadapinya. Tak heran beberapa laporan live-nya amat emosional. Meski demikian ia tidak kehilangan daya kritis dan ketajamannya, kendati orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas penanganan pasca-bencana adalah Alwi Shihab, Menko Kesra waktu itu, yang tak lain adalah pamannya. Pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali yang terkesan dengan laporan-laporannya, menyebut fenomena itu sebagai Shihab vs. Shihab.
Tahun 2006 ia terpilih sebagai Jurnalis Terbaik Metro TV, dan masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik Panasonic Awards. Pada tahun yang sama, bersama sejumlah wartawan dari berbagai negara, Najwa terpilih menjadi peserta Senior Journalist Seminar yang berlangsung di sejumlah kota di AS, dan menjadi pembicara pada Konvensi Asian American Journalist Association.
Tahun 2007, pengakuan terhadap profesionalisme Najwa tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga manca negara. Terbukti, selain kembali masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik Panasonic Awards, ia juga masuk nominasi (5 besar) ajang yang lebih bergengsi di tingkat Asia, yaitu Asian Television Awards untuk kategori Best Current Affairs/Talkshow presenter. Pengumuman pemenang dilangsungkan bulan November 2007 di Singapura. Jika pada Panasonic Awards pemenang dipilih dari jumlah sms terbanyak, maka penentuan pemenang pada Asian TV Awards dilakukan oleh panel juri yang beranggotakan TV broadcaster senior dari berbagai negara di Asia.
Salah satu acara yang dipandu Najwa Shihab dan cukup membekas di benak publik, adalah debat kandidat Gubernur DKI Jakarta. Debat yang mempertemukan pasangan Fauzi Bowo-Priyanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar itu diselenggarakan oleh KPUD DKI Jakarta, disiarkan secara langsung oleh Metro TV dan Jak TV. Najwa terpilih sebagai pemandu debat menyisihkan sejumlah pembawa acara yang diseleksi KPUD DKI Jakarta.
Kendati telah memutuskan untuk total di dunia jurnalistik dan TV broadcast, Najwa terus menerus berupaya memperkuat dan memperkaya wawasan keilmuannya. Awal 2008 mendatang dia akan terbang ke Australia sebagai peraih Full Scholarship for Australian Leadership Awards. Ia akan mendalami hukum media.
Tahun 2010, kembali Najwa Shihab masuk sebagai nominasi Presenter Berita Terbaik Panasonic Awards. Walaupun pada akhirnya Putra Nababan lah sebagai pemenangnya.
Tokoh yang pernah diwawancarai Najwa Shihab
Najwa termasuk wartawan yang pertama mewawancarai Presiden SBY, tidak lama setelah pelantikan. Hampir semua tokoh politk nasional pernah ia wawancarai. Tokoh manca negara yang pernah ia wawancarai, antara lain adalah mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Najwa Shihab Raih Young Global Leader Award
Presenter Najwa Shihab dari MetroTV meraih penghargaan Young Global Leader (YGL) 2011 dari World Economic Forum (WEF) yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
Penghargaan YGL diberikan WEF setiap tahun terhadap para profesional muda berusia di bawah 40 tahun dari seluruh dunia.
Ribuan kandidat diseleksi secara ketat oleh sebuah Komite Seleksi yang diketuai Ratu Rania Al Abdullah dari Yordania. Najwa Shihab terlilih sebagai YGL 2011 setelah Komite Seleksi melakukan penyaringan yang sangat ketat terhadap ribuan profesional muda di berbagai disiplin ilmu dan profesi, dari seluruh dunia.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Executive Chairman The Forum of Young Global Leaders, Klaus Schwab dan Senior Director Head of The Forum of Young Global Leaders, David Aikman, Najwa Shihab terpilih sebagai YGL 2011 karena pencapaian profesional, komitmen terhadap masyarakat dan kontribusinya yang potensial dalam membentuk masa depan dunia dengan kepemimpinannya yang memberi inspirasi terhadap kaum muda lainnya.
Dengan pencapaian itu, Najwa Shihab diundang untuk menjadi anggota aktif dari The Forum of Young Global Leaders. Forum ini merupakan jaringan profesional muda pilihan dari seluruh dunia yang diharapkan mampu memberikan dampak yang signifikan bagi penyelesaian masalah global. Najwa Shibab bergabung dengan Metro TV sebagai news presenter sejak 2000 dan kini ia menjadi anchor program Mata Najwa.
Najwa Shihab Tak Berkerudung
TAK SULIT menjumpai Najwa Shihab. Hampir saban hari dia muncul di stasiun MetroTV. Selama kariernya di televisi itu, yang paling mengharukan saat Nana, sapaan karibnya, melaporkan kondisi Aceh pasca-Tsunami akhir Desember lalu. Awal mula dia memberi laporan, meski tampak tegar tapi akhirnya tak kuasa menahan linangan air mata. Nana menangis.
Saat bertolak ke Aceh, 27 Desember, Nana berniat menggelar talkshow Today’s Dialog di sana. Nana, yang juga co-produser program itu, sebenarnya telah mempersiapkan talkshow lengkap dengan krunya. Tapi, karena keterbatasan sarana, hari pertama Nana melaporkan hasil liputannya cuma via telepon. Laporan langsung lewat satelit baru bisa dilakukannya hari kedua.
Turun dari pesawat rombongan wakil presiden di Blang Bintang, Banda Aceh, Nana belum merasakan atmosfer kematian. Dia mencium bau anyir darah baru setelah sampai di Lambaro, Aceh Besar. Di daerah inilah dia melaporkan kondisi yang dia lihat. Mayat-mayat berserakan. Orang yang masih hidup pun terlihat bingung. Mereka mencari keluarga dan sanak saudara. Nana mengatakan, belum pernah melihat orang sedemikian putus asa. Saat itulah Nana melakukan reportase diiringi tangisan.
Di sana Nana hanya lima hari. Tanggal 31, bersama rombongan wakil presiden dia kembali ke Jakarta. Pekan pertama setelah peristiwa, dia belum mendengar isu kristenisasi. “Isu kristenisasi setelah saya di sini, waktu saya di sana tidak terdengar. Memang ada Worldhelp yang konon mengajak anak-anak keluar Aceh,” ungkap putri kedua Quraish Shihab itu.
Di sana, kata Nana, banyak sekali isu yang berkembang, karena tak ada komando, tak ada pusat informasi yang jelas. Komunikasi lumpuh. Jadi orang gampang sekali diprovokasi oleh berbagai isu. Menurut dia, kalau memang kristenisasi ada itu sangat tercela. Dalam kondisi darurat orang masih sempat mengurusi agama. “Tapi saya percaya, orang Aceh tidak semudah itu berubah keyakinan, hanya karena diberi bantuan,” ujarnya.
LIPUTAN lima hari itu tak sia-sia. Berkat liputannya itu, pada 2 Februari 2005 lalu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya memberi penghargaan PWI Jaya Award. Menurut sekretaris PWI Jaya Akhmad Kusaeni, liputan Nana dan presenter teve-teve lain betul-betul telah membuat Indonesia menangis.
Bukan hanya PWI Jakarta yang menganugerahi Nana, pada Hari Pers Nasional (HPN) yang dilangsungkan di Pekanbaru, Riau 9 Februari lalu, Nana meraih penghargaan HPN Award. PWI pusat menilai, Najwa Shihab adalah wartawan pertama yang memberi informasi tragedi tsunami secara intensif.
Pujian untuk Nana pun meluncur dari pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendy Gazali. Dia menyitir judul film drama komedi terkenal Amerika, Kramer Vs Kramer yang dianalogikannya menjadi “Shihab Vs Shihab”.
Shihab pertama adalah Najwa Shihab, kedua Alwi Shihab, yang masih punya hubungan saudara dengan Nana. “Najwa mengkritik penanganan bencana yang dilakukan pemerintah yang diwakili oleh Menko Kesra Alwi Shihab,” kata Effendy Ghazali. Dalam reportasenya, Najwa menyampaikan bahwa bantuan terlambat dan tak terkoordinasi, sementara mayat-mayat bergelimpangan tidak tertangani.
“Shihab Vs Shihab”, kata Effendy, untuk menggambarkan bagaimana Najwa Shihab sebagai wartawan tetap garang dalam menyuarakan kepentingan publik dan korban tsunami di Aceh.
WANITA kelahiran 16 september 1977 ini hidup dalam keluarga religius. Nana kecil, saat di Makasar, sudah masuk TK Al-Quran. Dia masih ingat betul, kalau melakukan kesalahan, sang guru memukulnya dengan kayu kecil. Sekolah Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hidayah (1984-1990), lalu SMP Al-Ikhlas, Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pada 1990-1993. Aktivitas sampai SMU, dipimpin ibunya, Nana dengan lima orang saudaranya sejak magrib harus ada di rumah. “Jadi berjamaah magrib, ngaji Al-Quran, lalu ratib Haddad bersama. Itu ritual keluarga sampai saya SMU.” Setelah kuliah, karena banyak kegiatan, Nana baru boleh keluar setelah magrib.
Keluarganya memang sangat memprihatikan faktor pendidikan. “Pendekatan pendidikan di keluarga tidak pernah dengan cara-cara yang otoriter. Saya rasa itu sangat mempengaruhi, bagaimana pola didik orang tua ke anak akan mempengaruhi perilaku,” ujarnya.
Pendidikan, bagi keluarga Shihab, adalah nomor wahid, tidak bisa ditawar-tawar. Dulu waktu kelas dua SMU, Nana dapat kesempatan AFS (America Field Service), program pertukaran pelajar ke Amerika. Sempat keluarga menolak karena harus melepas selama setahun anak cewek yang baru usia 16 tahun tinggal di keluarga asuh. “Sempat terjadi perdebatan keluarga. Waktu itu yang paling mendukung ayah saya. Apa pun untuk pendidikan akan diperbolehkan, dalam usia itu pun beliau sudah memberikan kepercayaan, walaupun di sana dia sudah dibekali agama, mereka percaya shalatnya tidak akan ditinggal. Dan alhamdulillah saya bisa menjaga kepercayaan itu,” cerita Nana.
Quraish Shihab, pakar tafsir itu, bagi Nana, adalah sosok bapak yang santai. “Seneng joke-joke Abu Nawas, ketawa-ketawa,” kisahnya. Jadi beliau, kata Nana, membebaskan pilihan kepada anak-anaknya untuk sekolah ke mana saja.
Tidak hanya persoalan pendidikan, kebebasan juga diberikan oleh sang bapak untuk menentukan pasangan hidupnya. “Bahkan saat saya memutuskan untuk nikah muda, 20 tahun, ayah memberi kepercayaan. Bagi beliau yang penting kuliah selesai.” Menjelang pernikahan, kata Nana, keluarga sempat ragu, tapi karena pengalaman kakak yang nikah saat usia 19 tahun akhirnya diizinkan. Tapi sebelum itu mereka sekeluarga umroh dulu. “Di sana ayah bertanya, ‘udah mantep?’ saya jawab, ‘udah’. Ya sudah diizinkan,” tutur Nana.
KENDATI dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. Menurut Nana, kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga tidak apa-apa. “Saya sih seperti itu dan saya percaya itu.”
Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah terhormat. Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang berjilbab sangat terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal itu. Menurut Nana, yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk terhormat selain dengan jilbab. “Tidak pernah ada keharusan untuk berjilbab,” ucapnya.
Dengan cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang komplain. “Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya membolehkan, membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah saya. Kalau ada yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang: ya insyaallah mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok.”
Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai jilbab, mungkin suatu saat. “Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban atau beban untuk berjilbab,” katanya, “Karena sejauh saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak.”
Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak terpengaruh. Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada pada jalur yang benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan memakainya. “Apa yang dilakukan orang kan bukan berarti kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian saya ikut. Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu,” ujarnya.
Najwa Shihab memang reporter yang sering tampil di Metro TV. Kadang Najwa berperforma buruk dan menuai kritik, tapi secara garis besar, najwa adalah pembawa acara yang berprestasi dan profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar